Hari ini aku ingin ke Eropa...
Sejarah
Peradaban Islam di Eropa (711M-1492M)
Ketika Islam mulai memasuki masa kemunduran di daerah Semenanjung Arab,
bangsa-bangsa Eropa justru mulai bangkit dari tidurnya yang panjang, yang
kemudian banyak dikenal denganRenaissance. Kebangkitan tersebut bukan
saja dalam bidang politik, dengan keberhasilan Eropa mengalahkan
kerajaan-kerajaan Islam dan bagian dunia lainnya, tetapi terutama dalam bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi. Harus diakui, bahwa justru dalam bidang ilmu
dan teknologi itulah yang mendukung keberhasilan negara-negara baru Eropa.
Kemajuan-kemajuan Eropa tidak dapat dipisahkan dari peran Islam saat menguasai
Spanyol.[1]
Dari Spanyol Islam itulah Eropa banyak menimba ilmu pengetahuan. Ketika
Islam mencapai masa keemasannya, kota Cordoba dan Granada di Spanyol merupakan
pusat-pusat peradaban Islam yang sangat penting saat itu dan dianggap menyaingi
Baghdad di Timur. Ketika itu, orang-orang Eropa Kristen, Katolik maupun Yahudi
dari berbagai wilayah dan negara banyak belajar di perguruan-perguruan tinggi
Islam di sana. Islam menjadi “guru” bagi orang Eropa[2] Di sini pula
mereka dapat hidup dengan aman penuh dengan kedamaian dan toleransi yang
tinggi, kebebasan untuk berimajinasi dan adanya ruang yang luas untuk mengekspresikan
jiwa-jiwa seni dan sastra.[3]
Penduduk keturunan Spanyol dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori,
yaitu: Pertama, kelompok yang telah memeluk Islam; Kedua,
kelompok yang tetap pada keyakinannya tetapi meniru adat dan kebiasaan bangsa
Arab, baik dalam bertingkah laku maupun bertutur kata; mereka kemudian dikenal
dengan sebutan Musta’ribah, dan Ketiga, kelompok yang
tetap berpegang teguh pada agamanya semula dan warisan budaya nenek moyangnya.
Tidak sedikit dari mereka, yang nonmuslim, menjadi pejabat sipil maupun
militer, di dalam kekuasaan Islam Spanyol. Mereka pun mendapat keleluasaan
dalam menjalankan ibadah mereka tanpa diganggu atau mendapat rintangan dari
penguasa muslim saat itu, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya saat
penguasa Kristen memerintah Spanyol.[4]
A. Masuknya Islam ke Eropa
Dalam sejarah ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, tanah Spanyol lebih
banyak dikenal dengan nama Andalusia, yang diambil dari sebutan tanah
Semenanjung Liberia. Julukan Andalusia ini berasal dari kata Vandalusia, yang
artinya negeri bangsa Vandal, karena bagian selatan Semenanjung ini pernah
dikuasai oleh bangsa Vandal sebelum mereka dikalahkan oleh bangsa Gothia Barat
pada abad V. Daerah ini dikuasai oleh Islam setelah penguasa Bani Umayah merebut
tanah Semenanjung ini dari bangsa Gothi Barat pada masa Khalifah Al-Walid ibn
Abdul Malik.[5]
Islam masuk ke Spanyol (Cordoba) pada tahun 93 H (711 M) melalui jalur
Afrika Utara di bawah pimpinan Tariq bin Ziyad yang memimpin angkatan perang
Islam untuk membuka Andalusia.[6]
Sebelum penaklukan Spanyol, umat Islam telah menguasai Afrika Utara dan
menjadikannya sebagai salah satu provinsi dari Dinasti Bani Umayah. Penguasaan
sepenuhnya atas Afrika Utara itu terjadi di zaman Khalifah Abdul Malik (685-705
M). Khalifah Abdul Malik mengangkat Hasan ibn Nu’man al-Ghassani menjadi
gubernur di daerah itu. Pada masa Khalifah Al-Walid, Hasan ibn Nu’man sudah
digantikan oleh Musa ibn Nushair. Di zaman Al-Walid itu, Musa ibn Nushair
memperluas wilayah kekuasaannya dengan menduduki Aljazair dan Maroko.
Penaklukan atas wilayah Afrika Utara itu dari pertama kali dikalahkan sampai
menjadi salah satu provinsi dari Khalifah Bani Umayah memakan waktu selama 53
tahun, yaitu mulai tahun 30 H (masa pemerintahan Muawiyah ibn Abi Sufyan)
sampai tahun 83 H (masa al-Walid).[7] Sebelum dikalahkan dan kemudian
dikuasai Islam, di kawasan ini terdapat kantung-kantung yang menjadi basis
kekuasaan Kerajaan Romawi, yaitu Kerajaan Gotik.
Dalam proses penaklukan Spanyol terdapat tiga pahlawan Islam yang dapat
dikatakan paling berjasa memimpin satuan-satuan pasukan ke sana. Mereka adalah
Tharif ibn Malik, Thariq ibn Ziyad, dan Musa ibn Nushair. Tharif dapat disebut
sebagai perintis dan penyelidik. Ia menyeberangi selat yang berada di antara Maroko
dan benua Eropa itu dengan satu pasukan perang lima ratus orang di antaranya
adalah tentara berkuda, mereka menaiki empat buah kapal yang disediakan oleh
Julian. Ia menang dan kembali ke Afrika Utara membawa harta rampasan yang tidak
sedikit jumlahnya. Didorong oleh keberhasilan Tharif ibn Malik dan kemelut yang
terjadi dalam tubuh kerajaan Visigothicyang berkuasa di Spanyol
pada saat itu, serta dorongan yang besar untuk memperoleh harta rampasan
perang, Musa ibn Nushair pada tahun 711 M mengirim pasukan ke Spanyol sebanyak
7000 orang di bawah pimpinan Thariq ibn Ziyad.[8]
Thariq ibn Ziyad lebih banyak dikenal sebagai penaklukan Spanyol karena
pasukannya lebih besar dan hasilnya lebih nyata. Pasukannya terdiri dari
sebagian besar suku Barbar yang didukung oleh Musa ibn Nushair dan sebagian
lagi orang Arab yang dikirim Khalifah al-Walid. Pasukan itu kemudian
menyeberangi selat di bawah pimpinan Thariq ibn Ziyad.[9] Sebuah gunung
tempat pertama kali Thariq dan pasukannya mendarat dan menyiapkan pasukannya,
dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq). Dengan dikuasainya daerah ini,
maka terbukalah pintu secara luas untuk memasuki Spanyol. Dalam pertempuran di
Bakkah, Raja Roderick dapat dikalahkan. Dari situ Thariq dan pasukannya
menaklukkan kota-kota penting seperti Cordova, Granada dan Toledo (Ibu kota
kerajaan Goth saat itu).[10] Sebelum menaklukkan kota Toledo, Thariq
meminta tambahan pasukan kepada Musa ibn Nushair di Afrika Utara. Lalu
dikirimlah 5000 personil, sehingga jumlah pasukan Thariq 12000 orang. Jumlah
ini tidak sebanding dengan pasukan ghothic yang berjumlah 25.000 orang.[11]
Kemenangan pertama yang dicapai oleh Thariq ibn Ziyad membuka jalan untuk
penaklukan wilayah yang lebih luas lagi. Musa bin Nushair pun melibatkan diri
untuk membantu perjuangan Thariq. Selanjutnya, keduanya berhasil menguasai
seluruh kota penting di Spanyol, termasuk bagian utaranya mulai dari Saragosa
sampai Navarre.[12]
Gelombang perluasan wilayah berikutnya muncul pada masa pemerintahan
Khalifah Umar ibn Abdil Aziz tahun 99 H/717 M, dengan sasarannya menguasai
daerah sekitar pegunungan Pyrenia dan Prancis Selatan. Gelombang kedua terbesar
dari penyerbuan kaum muslimin yang geraknya dimulai pada permulaan abad
ke-8 M ini, telah menjangkau seluruh Spanyol dan melebar jauh ke Prancis Tengah
dan bagian-bagian penting dari Italia.[13]
Kemenangan-kemenangan yang dicapai umat Islam nampak begitu mudah. Hal itu
tidak dapat dipisahkan dari adanya faktor eksternal dan internal.
Yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah suatu kondisi
yang terdapat di dalam negeri Spanyol sendiri. Pada masa penaklukan Spanyol
oleh orang-orang Islam, kondisi sosial, politik, dan ekonomi negeri ini berada
dalam keadaan menyedihkan. Secara politik, wilayah Spanyol terkoyak-koyak dan
terbagi-bagi ke dalam beberapa negeri kecil. Bersamaan dengan itu, penguasa
Gothic bersikap tidak toleran terhadap aliran agama yang dianut oleh penguasa,
yaitu aliran Monofisit, apalagi terhadap penganut agama lain, Yahudi. Penganut
agama Yahudi yang merupakan bagian terbesar dari penduduk Spanyol dipaksa
dibaptis menurut agama Kristen. Yang tidak bersedia disiksa dan dibunuh secara
brutal.[14] Rakyat dibagi-bagi ke dalam sistem kelas, sehingga, keadaannya
diliputi oleh kemelaratan, ketertindasan, dan ketiadaan persamaan hak. Di dalam
situasi seperti itu, kaum tertindas menanti kedatangan juru pembebas dan juru
pembebasnya mereka temukan dari orang Islam.[15] Berkenaan dengan itu,
Ameer Ali, seperti dikutip oleh Imamuddin mengatakan, ketika Afrika (Timur dan
Barat) menikmati kenyamanan dalam segi material, kebersamaan, keadilan, dan kesejahteraan
tetangganya di jazirah Spanyol berada dalam keadaan menyedihkan di bawah
kekuasaan tangan resi penguasa Visighotic. Di sisi lain, kerajaan
berada dalam kemelut yang membawa akibat pada penderitaan
masyarakat.[16] akibat perlakuan yang keji, koloni-koloni Yahudi yang
penting menjadi tempat-tempat perlawanan dan pemberontakan. Perpecahan dalam
negeri Spanyol ini banyak membantu keberhasilan campur tangan Islam di tahun
711 M. Perpecahan itu amat banyak coraknya dan sudah ada jauh sebelum kerajaan
Gothic berdiri.
Perpecahan politik memperburuk keadaan ekonomi masyarakat. Ketika Islam
masuk ke Spanyol, ekonomi masyarakat dalam keadaan lumpuh. Padahal, sewaktu
Spanyol berada di bawah pemerintahan Romawi, berkat kesuburan tanahnya,
pertanian maju pesat. Demikian juga pertambangan, industri, dan perdagangan
karena didukung oleh sarana transportasi yang baik. Akan tetapi, setelah
Spanyol berada di bawah kekuasaan kerajaan Goth, perekonomian lumpuh dan
kesejahteraan masyarakat menurun. Hektaran tanah dibiarkan terlantar tanpa
digarap, beberapa pabrik ditutup, dan antara satu daerah dengan daerah lain
sulit dilalui akibat jalan-jalan tidak mendapat perawatan.[17]
Buruknya kondisi sosial, ekonomi, dan keagamaan tersebut terutama
disebabkan oleh keadaan politik yang kacau. Kondisi terburuk terjadi pada masa
pemerintahan Raja Roderick, Raja Goth terakhir yang dikalahkan Islam.
Awal kehancuran kerajaan Ghot adalah ketika Raja Roderick memindahkan ibu
kota negaranya dari Seville ke Toledo, sementara Witiza, yang saat itu menjadi
penguasa atas wilayah Toledo, diberhentikan begitu saja. Keadaan ini memancing
amarah dari Oppas dan Achila, kakak, dan anak Witiza. Keduanya kemudian bangkit
menghimpun kekuatan untuk menjatuhkan Roderick. Mereka pergi ke Afrika Utara
dan bergabung dengan kaum muslimin. Sementara itu, terjadi pula konflik antara
Roderick dengan Ratu Julian, mantan penguasa wilayah Septah. Julian juga
bergabung dengan kaum Muslimin di Afrika Utara dan mendukung usaha umat Islam
untuk menguasai Spanyol. Julian bahkan memberikan pinjaman empat buah kapal
yang dipakai oleh Tharif, Tariq, dan Musa.[18]
Hal menguntungkan tentara Islam lainnya adalah tentara Roderick yang
terdiri dari para budak yang tertindas tidak lagi mempunyai semangat perang.
Selain itu, orang Yahudi yang selama ini tertekan juga mengadakan persekutuan
dan memberikan bantuan bagi perjuangan kaum Muslimin.[19]
Adapun yang dimaksud dengan faktor internal adalah suatu
kondisi yang terdapat dalam tubuh penguasa, tokoh-tokoh pejuang, dan para
prajurit Islam yang terlibat dalam penaklukan wilayah Spanyol pada khususnya.
Para pemimpin adalah tokoh-tokoh yang kuat, tentaranya kompak, bersatu, dan
penuh percaya diri. Mereka pun cakap, berani, dan tabah dalam menghadapi setiap
persoalan. Yang tak kalah pentingnya adalah ajaran Islam yang ditunjukkan para
tentara Islam, yaitu toleransi, persaudaraan, dan tolong menolong. Sikap
toleransi agama dan persaudaraan yang terdapat dalam pribadi kaum Muslimin itu
menyebabkan penduduk Spanyol menyambut kehadiran Islam di sana.
B. Perkembangan Islam di Spanyol
Sejak pertama kali Islam menginjakkan kakinya ditanah Spanyol hingga
jatuhnyua kerajaan Islam terakhir di sana sekitar tujuh setengan abad lamanya,
Islam memainkan peranan yang besar, baik dalam bidang kemajuan intelektual
(filsafat, sains, fikih, musik dan kesenian, bahasa dan sastra), kemegahan
bangunan fisik (Cordova dan Granada).[20] Sejarah panjang yang dilalui
umat Islam di Spanyol itu dapat dibagi menjadi enam periode yaitu :
1. Periode Pertama (711-755 M)
Pada periode ini, Spanyol berada di bawah pemerintahan para wali yang
diangkat oleh Khalifah Bani Umayah yang terpusat di Damaskus. Pada periode ini
stabilitas politik negeri Spanyol belum tercapai secara sempurna,
gangguan-gangguan masih terjadi, baik dari dalam maupun dari luar. Gangguan
dari dalam antara lain berupa perselisihan di antara elite penguasa, terutama
akibat perbedaan etnis dan golongan. Di samping itu, terdapat perbedaan
pandangan antara Khalifah di Damaskus dan gubernur Afrika Utara yang berpusat di
Khairawan. Masing-masing mengaku bahwa merekalah yang paling berhak menguasai
daerah Spanyol ini. Oleh karena itu, terjadi dua puluh kali pergantian wali
(gubernur) Spanyol dalam jangka waktu yang amat singkat. Perbedaan pandangan
politik itu menyebabkan seringnya terjadi perang saudara. Hal ini ada
hubungannya dengan perbedaan etnis, terutama antara Barbar asal Afrika Utara
dan Arab. Di dalam etnis Arab sendiri terdapat dua golongan yang terus-menerus
bersaing yaitu suku Qaisy (Arab Utara) dan Arab Yamani (Arab Selatan).
Perbedaan etnis ini sering kali menimbulkan konflik politik, terutama ketika
tidak ada figur yang tangguh. Itulah sebabnya di Spanyol pada saat itu tidak
ada gubernur yang mampu mempertahankan kekuasaannya untuk jangka waktu yang
agak lama.[21] Periode ini berakhir dengan datangnya Abdurrahman Al-Dakhil
ke Spanyol pada tahun 138 H/755 M.
2. Periode Kedua (755-912 M)
Pada periode ini, Spanyol berada di bawah pemerintahan seorang yang
bergelar amir (panglima atau gubernur) tetapi tidak tunduk
kepada pusat pemerintahan Islam, yang ketika itu dipegang oleh Khalifah
Abbasiyah di Baghdad. Amir pertama adalah Abdurrahman I yang memasuki Spanyol
tahun 138 H/755 M dan diberi gelar Al-Dakhil (yang masuk ke Spanyol). Ia
berhasil mendirikan dinasti Bani Umayah di Spanyol. Penguasa-penguasa Spanyol
pada periode ini adalah Abdurrahman Al-Dakhil, Hisyam I, Hakam I, Abdurrahman
Al-Ausath, Muhammad ibn Abdurrahman, Munzir ibn Muhammad, dan Abdullah ibn
Muhammad.
Pada periode ini, umat Islam Spanyol mulai memperoleh kemajuan-kemajuan
baik di bidang politik maupun bidang peradaban. Abdurrahman Al-Dakhil
mendirikan masjid Cordova dan sekolah-sekolah di kota-kota besar Spanyol.
Hisyam dikenal sebagai pembaharu dalam bidang kemiliteran. Dialah yang
memprakarsai tentara bayaran di Spanyol. Sedangkan Abdul Rahman Al-Ausath
dikenal sebagai penguasa yang cinta ilmu.[22] Pemikiran filsafat juga
mulai pada periode ini, terutama di zaman Abdurrahman Al-Ausath.
Pada pertengahan abad ke-9 stabilitas negara terganggu dengan munculnya
gerakan Kristen fanatik yang mencari kesahidan (Martyrdom).[23] Gangguan
politik yang paling serius pada periode ini datang dari umat Islam sendiri.
Golongan pemberontak di Toledo pada tahun 852 M membentuk negara kota yang
berlangsung selama 80 tahun. Di samping itu sejumlah orang yang tak puas
membangkitkan revolusi. Yang terpenting diantaranya adalah pemberontakan yang
dipimpin oleh Hafshun dan anaknya yang berpusat di pegunungan dekat Malaga.
Sementara itu, perselisihan antara orang-orang Barbar dan orang-orang Arab
masih sering terjadi.[24]
Ada yang berpendapat pada periode ini dibagi menjadi dua yaitu masa Ke
Amiran (755-912) dan masa ke Khalifahan (912-1013).[25]
3. Periode Ketiga (912-1013 M)
Periode ini berlangsung mulai dari pemerintahan Abdurrahman III yang
bergelar “An-Nasir” sampai munculnya “raja-raja kelompok” yang dikenal
dengan sebutan Muluk Al-Thawaif. Pada periode ini Spanyol
diperintah oleh penguasa dengan gelar Khalifah, penggunaan khalifah tersebut
bermula dari berita yang sampai kepada Abdurrahman III, bahwa Muktadir,
Khalifah daulah Bani Abbas di Baghdad meninggal dunia dibunuh oleh pengawalnya
sendiri. Menurut penilainnya, keadaan ini menunjukkan bahwa suasana
pemerintahan Abbasiyah sedang berada dalam kemelut. Ia berpendapat bahwa saat
ini merupakan saat yang tepat untuk memakai gelar khalifah yang telah hilang
dari kekuasaan Bani Umayyah selama 150 tahun lebih. Karena itulah gelar ini
dipakai mulai tahun 929 M. Khalifah-khalifah besar yang memerintah pada periode
ini ada tiga orang yaitu Abdurrahman Al-Nasir (912-961 M), Hakam II (961-976
M), dan Hisyam II (976-1009 M).
Pada periode ini umat Islam Spanyol mencapai puncak kemajuan dan kejayaan
menyaingi kejayaan daulat Abbasiyah di Baghdad. Abdurrahman Al-Nasir mendirikan
universitas Cordova. Ia mendahului Al-Azhar Kairo dan Nizhamiyah Baghdad, juga
menarik minat para siswa, Kristen dan Muslim, tidak hanya di Spanyol tetapi
juga dari wilayah-wilayah lain di Eropa, Afrika dan Asia.[26]
Akhirnya pada tahun 1013 M, Dewan Menteri yang memerintah Cordova
menghapuskan jabatan khalifah. Ketika itu Spanyol sudah terpecah dalam banyak
sekali negara kecil yang berpusat di kota-kota tertentu.[27]
4. Periode Keempat (1013-1086 M)
Pada periode ini, Spanyol terpecah menjadi lebih dari tiga puluh negara
kecil di bawah pemerintahan raja-raja golongan atau Al-Mulukuth Thawaif yang
berpusat di suatu kota seperti Seville, Cordova, Toledo dan sebagainya. Yang
terbesar diantaranya adalah Abbadiyah di Seville. Pada periode ini umat Islam
memasuki masa pertikaian intern. Ironisnya, kalau terjadi perang saudara, ada
di antara pihak-pihak yang bertikai itu yang meminta bantuan kepada raja-raja
Kristen. Melihat kelemahan dan kekacauan yang menimpa keadaan politik Islam
itu, untuk pertama kalinya orang-orang Kristen pada periode ini mulai mengambil
inisiatif penyerangan. Meskipun kehidupan politik tidak stabil, namun kehidupan
intelektual terus berkembang pada periode ini. Istana-istana mendorong para
sarjana dan sastrawan untuk mendapatkan perlindungan dari satu istana ke istana
lain.[28]
5. Periode Kelima (1086-1248 M)
Pada periode ini Spanyol Islam meskipun masih terpecah dalam beberapa
negara, tetapi terdapat satu kekuatan yang dominan, yaitu kekuasaan dinasti
Murabithun (1086-1143 M) dan dinasti Muwahhidun (1146-1235 M). Dinasti
Murabithun pada mulanya adalah sebuah gerakan agama yang didirikan oleh Yusuf
ibn Tasyfin di Afrika Utara. Pada tahun 1062 M ia berhasil mendirikan sebuah
kerajaan yang berpusat di Marakesy. Pada masa dinasti Murabithun, Saragosa
jatuh ke tangan Kristen, tepatnya tahun 1118 M.
Dinasti Muwahhidun didirikan oleh Muhammad ibn Tumazi (w.1128). Dinasti ini
datang ke Spanyol di bawah pimpinan Abd al-Mun’im. Pada tahun 1212 M, tentara
Kristen memperoleh kemenangan besar di Las Navas de Tolesa. Kekalahan-kekalahan
yang dialami Muwahhhidun menyebabkan penguasanya memilih meninggalkan Spanyol
dan kembali ke Afrika Utara pada tahun 1235 M. Tahun 1238 M Cordova jatuh ke
tangan penguasa Kristen dan Seville jatuh pada tahun 1248 M. Seluruh Spanyol
kecuali Granada lepas dari kekuasaan Islam.[29]
6. Periode Keenam (1248-1492 M)
Pada Periode ini, Islam hanya berkuasa di daerah Granada, di bawah dinasti
Bani Ahmar (1232-1492). Peradaban kembali mengalami kemajuan seperti di zaman
Abdurrahman An-Nasir. Kekuasaan Islam yang merupakan pertahanan terakhir di
Spanyol ini berakhir karena perselisihan orang-orang istana dalam perebutan
kekuasaan. Abu Abdullah Muhammad merasa tidak senang kepada ayahnya karena
menunjuk anaknya yang lain sebagai penggantinya menjadi raja. Dia memberontak
dan berusaha merampas kekuasaannya. Dalam pemberontakan itu, ayahnya terbunuh
dan digantikan oleh Muhammad ibn Sa’ad. Abu Abdullah kemudian meminta bantuan
kepada Ferdinand dan Isabella untuk menjatuhkannya. Dua penguasa Kristen ini
dapat mengalahkan penguasa yang sah dan Abu Abdullah naik tahta. Tentu saja,
Ferdinand dan Isabella yang mempersatukan kedua kerajaan besar Kristen melalui
perkawinan itu tidak cukup puas. Keduanya ingin merebut kekuasaan terakhir umat
Islam di Spanyol. Abu Abdullah tidak kuasa menahan serangan-serangan orang
Kristen tersebut dan pada akhirnya mengaku kalah. Ia menyerahkan kekuasaan
kepada Ferdinand dan Isabella, kemudian hijrah ke Afrika Utara. Dengan demikian
berakhirlah kekuasaan Islam di Spanyol tahun 1492 M. Umat Islam setelah itu
dihadapkan kepada dua pilihan, masuk Kristen atau pergi meninggalkan Spanyol.
Pada tahun 1609 M, boleh dikatakan tidak ada lagi umat Islam di daerah ini.[30]
C. Kemajuan Peradaban
Dalam masa lebih dari tujuh abad, kekuasaan Islam di Spanyol, umat Islam
telah mencapai kejayaannya di sana. Banyak prestasi yang mereka peroleh,
bahkan, pengaruhnya membawa Eropa dan kemudian dunia, kepada kemajuan yang
lebih kompleks.
1. Kemajuan Intelektual
Spanyol adalah negeri yang subur. Kesuburan itu mendatangkan penghasilan
ekonomi yang tinggi dan pada gilirannya banyak menghasilkan pemikir.
Masyarakat Spanyol Islam merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari
komunitas-komunitas Arab (Utara dan Selatan), al-Muwalladun (orang-orang
Spanyol yang masuk Islam), Barbar (umat Islam yang berasal dari Afrika Utara),
al-Shaqalibah (penduduk daerah antara Konstantinopel dan Bulgaria yang menjadi
tawanan Jerman dan dijual kepada penguasa Islam untuk dijadikan tentara
bayaran), Yahudi, Kristen Muzareb yang berbudaya Arab dan Kristen yang masih
menentang kehadiran Islam. Semua komunitas itu, kecuali yang terakhir,
memberikan saham intelektual terhadap terbentuknya lingkungan budaya Andalus
yang melahirkan kebangkitan ilmiah, sastra, dan pembangunan fisik di
Spanyol.[31]
a. Filsafat
Islam di Spanyol telah mencatat satu lembaran budaya yang sangat brilian
dalam bentangan sejarah Islam. Ia berperan sebagai jembatan penyeberangan yang
dilalui ilmu pengetahuan Yunani-Arab ke Eropa pada abad ke-12. Minat terhadap
filsafat dan ilmu pengetahuan mulai dikembangkan pada abad ke-9 M, selama
pemerintahan penguasa Bani Umayyah yang ke-5, Muhammad ibn Abd Al-Rahman
(832-886 M).[32]
Atas inisiatif Al-Hakam (961 -976 M), karya-karya ilmiah dan filosofis
diimpor dari Timur dalam jumlah besar, sehingga, Cordova dengan perpustakaan
dan universitas-universitasnya mampu menyaingi Baghdad sebagai pusat utama ilmu
pengetahuan di dunia islam.
Tokoh utama pertama dalam sejarah filsafat Arab-Spanyol adalah Abu Bakr
Muhammad ibn Al-Sayigh yang lebih dikenal dengan Ibn Bajjah. Dilahirkan di
Saragosa, ia pindah ke Sevilla dan Granada. Meninggal karena keracunan di Fez
tahun 1138 M dalam usia yang masih muda. Seperti Al-Farabi dan Ibn Sina di
Timur, masalah yang dikemukakannya bersifat etis dan eskatologis. Magnum
opusnyaadalah Tadbir al-Mutawahhid.
Tokoh utama kedua adalah Abu Bakr ibn Thufail, penduduk asli Wadi Asy,
sebuah dusun kecil di sebelah timur Granada dan wafat pada usia lanjut tahun
1185 M. Ia banyak menulis masalah kedokteran, astronomi, dan filsafat. Karya
filsafatnya yang sangat terkenal adalah Hay ibn Yaqzhan.
Akhir abad ke-12 M menjadi saksi munculnya seorang pengikut Aristoteles
yang terbesar di gelanggang filsafat dalam Islam, yaitu Ibnu Rusyd dari
Cordova. la lahir tahun 1126 M dan meninggal tahun 1198 M. Ciri khasnya adalah
kecermatan dalam menafsirkan naskah-naskah Aristoteles dan kehati-hatian dalam
menggeluti masalah-masalah menahun tentang keserasian filsafat dan agama. Dia
juga ahli fiqh dengan karyanya Bidayah al-Mujtahid.
Ibnu Rusyd memiliki sikap realisme, rasionalisme, positivisme ilmiah
Aristotelian. Sikap skeptis terhadap mistisisme adalah basis di mana ia
menyerang filsafat Al-Ghazali.[33]
b. Sains
Ilmu-ilmu kedokteran, musik, matematika, astronomi, kimia dan Iain-lain
juga berkembang dengan baik. Abbas ibn Farnas termasyhur dalam ilmu kimia dan
astronomi. Ialah orang pertama yang menemukan pembuatan kaca dari
batu.[34] Ibrahim ibn Yahya Al-Naqqash terkenal dalam ilmu astronomi. la
dapat menentukan waktu terjadinya gerhana matahari dan menentukan berapa
lamanya. la juga berhasil membuat teropong modern yang dapat menentukan jarak
antara tata surya dan bintang-bintang. Ahmad ibn Ibas dari Cordova adalah ahli
dalam bidang obat-obatan. Umm Al-Hasan bint Abi Ja’far dan saudara perempuan
Al-Hafidz adalah dua orang ahli kedokteran dari kalangan wanita.
Fisika. Kitab Mizanul Hikmah (The Scale
of Wisdom), ditulis oleh Abdul Rahman al-Khazini pada tahun 1121, adalah
satu karya fundamental dalam ilmu fisika di Abad Pertengahan, mewujudkan “tabel
berat jenis benda cair dan padat dan berbagai teori dan kenyataan yang
berhubungan dengan fisika.[35]
Trigonometri Pengantar kepada risalah astronomi dari Jabir ibnu
Aflah, dari Seville, ditulis oleh Islah al-Majisti pada pertengahan abad dua
belas, berisi tentang teori-teori trigonometrikal. Hasan al-Marrakusyi telah
melengkapi pada tahun 1229 di Maroko, suatu risalah astronomi dengan informasi
trigonometri. Karyanya tersebut berisi “tabel sinus untuk setiap setengah
derajat, juga tabel untuk mengenal benar-benar sinus, arc sinus dan arc
cotangen”
Observatorium Maragha, berdiri pada tahun 1259 di Azerbaijan, Persia,
menjadi pusat studi astronomi dan alat-alat (baru) atau untuk memperbaiki
alat-alat astronomi, kreatif dan terkenal untuk suatu periode yang singkat.
Pusat yang menarik bagi ahli astronomi dan pembuat alat-alat astronomi dari
Persia dan mungkin Cina.[36]
Dalam bidang sejarah dan geografi, wilayah Islam bagian barat melahirkan
banyak pemikir terkenal. Ibn Jubair dari Valencia (1145-1228 M) menulis tentang
negeri-negeri muslim Mediterania dan Sicilia dan Ibn Batuthah dari Tangier
(1304-1377 M) mencapai Samudera Pasai dan Cina. Ibn Al-Khatib (1317-1374 M)
menyusun riwayat Granada, sedangkan Ibn Khaldun dari Tunis adalah perumus
filsafat sejarah. Semua sejarawan di atas bertempat tinggal di Spanyol, yang
kemudian pindah ke Afrika.
Geografi. Zamakhsyari (wafat 1144) seorang Persia,
menulis Kitabul Amkina waljibal wal Miyah (The Book of
Places, Mountains and Waters). Yaqut menulis Mu’jamul Buldan (The
Persian Book of Places), tahun 1228, berupa suatu daftar ekstensif
data-data geografis menurut abjad termasuk fakta-fakta atas manusia dan
geografi alam, arkeologi, astronomi, fisika dan geografi sejarah. Aja’ib
al-Buldan (The Wonders of Lands), karya al-Qazwini, tahun
1262, ditulis dalam tujuh bagian yang berkaitan dengan iklim. Muhammad ibnu Ali
az-Zuhri dari Spanyol, menulis satu risalah teori geografi setelah tahun 1140.
Al-Idrisi dari Sisilia, menulis untuk raja Normandia, Roger II, yang kemudian
diketahui sebagai sebuah deskripsi geografi yang paling teliti di dunia. Ia
juga menggubah ensiklopedia geografi antara tahun 1154 dan 1166 untuk William
I. Al-Mazini di Granada telah menulis geografi Islam Timur dan daerah Volga;
keduanya didasarkan atas perjalanannya.[37]
C. Fiqih
Dalam bidang fiqih, Spanyol Islam dikenal sebagai penganut Maliki. Yang
memperkenalkan mazhab ini di sana adalah Ziyad ibn Abd Al-Rahman. Perkembangan
selanjutnya ditentukan oleh Ibn Yahya yang menjadi qadhi pada masa Hisyam ibn
Abd Al-Rahman. Ahli-ahli fiqih lainnya di antaranya adalah Abu Bakr ibn
Al-Quthiyah, Munzir ibn Sa’id Al-Baluthi, dan Ibn Hazm yang terkenal.[38]
d. Musik dan Kesenian
Dalam bidang musik dan seni suara, Spanyol Islam mencapai kecemerlangan
dengan tokohnya Al-Hasan ibn Nafi yang dijuluki zaryab. Setiap kali
diselenggarakan pertemuan dan jamuan, Zaryab selalu tampil mempertunjukkan
kebolehannya. la juga terkenal sebagai penggubah lagu. Ilmu yang dimilikinya
itu diturunkan kepada anak-anaknya, baik pria maupun wanita, dan juga kepada
budak-budak, sehingga kemasyhurannya tersebar luas.
Studi-studi musikal Islam, seperti telah diprakarsai oleh para teoritikus
al-Kindi, Avicenna dan Farabi, telah diterjemahkan ke bahasa Hebrew dan Latin
sampai periode pencerahan Eropa. Banyak penulis-penulis dan musikolog Barat
setelah tahun 1200, Gundi Salvus, Robert Kilwardi, Ramon Lull, Adam de Fulda,
dan George Reish dan Iain-lain, menunjuk kepada terjemahan Latin dari
tulisan-tulisan musikal Farabi. Dua bukunya yang paling sering disebut
adalah De Scientiis dan De Ortu Scientiarum.
Musik Muslim juga disebarluaskan ke seluruh benua Eropa oleh para
“penyanyi-pengembara” dari periode pertengahan ini memperkenalkan banyak
instrumen dan elemen-elemen musik Islami. Instrumen-instrumen yang lebih
terkenal adalah lute (al-lud), pandore (tanbur) dan gitar (gitara).
Kontribusi Muslim yang penting terhadap warisan musik Barat adalah musik
mensural dan nilai-nilai mensural dalam noot dan mode ritmik. Tarian Morris di
Inggris berasal dari Moorish mentas (Morise). Spanyol banyak menerapkan
model-model musikal untuk sajak dan rima syair dari kebudayaan Muslim.[39]
Banyak risalah musikal yang telah di tulis oleh para tokoh Islam seperti
Nasiruddin Tusi dan Qutubuddin Asy-Syairazi yang lebih banyak menyusun
teori-teori musik.[40]
e. Bahasa dan Sastra
Bahasa Arab telah menjadi bahasa administrasi dalam pemerintahan Islam di
Spanyol. Hal itu dapat diterima oleh orang-orang Islam dan non-Islam. Bahkan,
penduduk asli Spanyol menomor duakan bahasa asli mereka. Mereka juga banyak
yang ahli dan mahir dalam bahasa Arab, baik keterampilan berbicara maupun tata
bahasa. Mereka itu antara lain: Ibn Sayyidih, Ibn Malik pengarang Alfiyah, Ibn
Khuruf, Ibn Al-Hajj, Abu Ali Al-Isybili, Abu Al-Hasan Ibn Usfur, dan Abu Hayyan
Al-Gharnathi.
2. Kemegahan Pembangunan Fisik
Aspek-aspek pembangunan fisik yang mendapat perhatian umat Islam sangat
banyak. Dalam perdagangan, jalan-jalan dan pasar-pasar dibangun. Bidang
pertanian demikian juga. Sistem irigasi baru diperkenalkan kepada masyarakat
Spanyol yang tidak mengenal sebelumnya. Dam-dam, kanal-kanal, saluran sekunder,
tersier, dan jembatan-jembatan air didirikan. Tempat-tempat yang tinggi, dengan
begitu, juga mendapat jatah air.
Orang-orang Arab memperkenalkan pengaturan hidrolik untuk tujuan irigasi.
Kalau dam digunakan untuk mengecek curah air, waduk (kolam) dibuat untuk
konservasi (penyimpanan air). Pengaturan hidrolik itu dibangun dengan
memperkenalkan roda air (water wheel) asal Persia yang dinamakan na’urah
(Spanyol: Noria). Di samping itu, orang-orang Islam juga memperkenalkan
pertanian padi, perkebunan jeruk, kebun-kebun, dan taman-taman.[41]
Industri, di samping pertanian dan perdagangan, juga merupakan tulang
punggung ekonomi Spanyol Islam. Di antaranya adalah tekstil, kayu, kulit,
logam, dan industri barang-barang tembikar.
Namun demikian, pembangunan-pembangunan fisik yang paling menonjol adalah
pembangunan gedung-gedung, seperti pembangunan kota, istana, mesjid, pemukiman,
dan taman-taman. Di antara pembangunan yang megah adalah mesjid Cordova, kota
Al-Zahra, Istana Ja’fariyah di Saragosa, tembok Toledo, istana Al-Makmun, mesjid
Seville, dan istana Al-Hamra di Granada.
a. Cordova
Cordova adalah ibu kota Spanyol sebelum Islam, yang kemudian diambil alih
oleh Bani Umayyah. Oleh penguasa muslim, kota ini dibangun dan diperindah.
Jembatan besar dibangun di atas sungai yang mengalir di tengah kota.
Taman-taman dibangun untuk menghiasi ibu kota Spanyol Islam. Pohon-pohon dan :
bunga-bunga diimpor dari Timur. Di seputar ibu kota berdiri istana-istana yang
megah yang semakin mempercantik peman-dangan, setiap istana dan taman diberi nama
tersendiri dan di puncaknya terpancang istana Damsik.
Di antara kebanggaan kota Cordova lainnya adalah masjid Cordova. Menurut
Ibn Al-Dala’i, terdapat 491 mesjid di sana. Di samping itu, ciri khusus
kota-kota Islam adalah adanya tempat-tempat pemandian. Di Cordova saja terdapat
sekitar 900 pemandi-an. Di sekitarnya berdiri perkampungan-perkampungan yang
indah. Karena air sungai tak dapat diminum, penguasa muslim mendirikan saluran
air dari pegunungan yang panjangnya 80 Km.
b. Granada
Granada adalah tempat pertahanan terakhir umat Islam di Spanyol. Di sana
berkumpul sisa-sisa kekuatan Arab dan pemikir Islam. Posisi Cordova diambil
alih oleh Granada di masa-masa akhir kekuasaan Islam di Spanyol.
Arsitektur-arsitektur bangunannya terkenal di seluruh Eropa. Istana Al-Hamra
yang indah dan megah adalah pusat dan puncak ketinggian arsitektur Spanyol
Islam. Istana itu dikelilingi taman-taman yang tidak kalah indahnya.
Kisah tentang kemajuan pembangunan fisik ini masih bisa diperpanjang dengan
kota dan istana Al-Zahra, istana Al-Gazar, inenara Girilda, dan Iain-lain.[42]
3. Faktor-Faktor Pendukung Kemajuan
Spanyol Islam, kemajuannya sangat ditentukan oleh adanya penguasa-penguasa
yang kuat dan berwibawa, yang mampu mempersatukan kekuatan-kekuatan umat Islam,
seperti Abd Al Rahman Al-Dakhil, Abd Al-Rahman Al-Wasith dan Abd Al-Kahman
Al-Nashir.
Keberhasilan politik pemimpin-pemimpin tersebut ditunjang oleh
kebijaksanaan penguasa-penguasa lainnya yang mempelopori kegiatan-kegiatan
ilmiah yang terpenting di antara penguasa dinasti Umayyah di Spanyol dalam hal
ini adalah Muhammad Ibn Abd Al-Rahman (852-886) dan Al-Hakam II Al-Muntashir
(961-976).
Toleransi beragama ditegakkan oleh para penguasa terhadap penganut agama
Kristen dan Yahudi, sehingga, mereka ikut berpartisipasi mewujudkan peradaban
Arab Islam di Spanyol. Untuk orang Kristen, sebagaimana juga orang-orang
Yahudi, disediakan hakim khusus yang menangani masalah sesuai dengan ajaran
agama mereka masing-masing.
Masyarakat Spanyol Islam merupakan masyarakat majemuk, terdiri dari
berbagai komunitas, baik agama maupun bangsa. Dengan ditegakkannya toleransi
beragama, komunitas-komunitas itu dapat bekerja sama dan menyumbangkan
kelebihannya masing-masing.
Meskipun ada persaingan yang sengit antara Abbasiyah di Baghdad dan Umayyah
di Spanyol, hubungan budaya dari Timur dan Barat tidak selalu berupa
peperangan. Sejak abad ke-11 M dan seterusnya, banyak sarjana mengadakan
perjalanan dari ujung barat wilayah Islam ke ujung timur, sambil membawa
buku-buku dan gagasan-gagasan. Hal ini menunjukkan bahwa, meskipun umat Islam
terpecah dalam beberapa kesatuan politik, terdapat api yang disebut kesatuan
budaya dunia Islam.[43]
Perpecahan politik pada masa Muluk Al-Thawa’if dan sesudahnya tidak
menyebabkan mundurnya peradaban. Masa itu, bahkan, merupakan puncak kemajuan
ilmu pengetahuan, Kesenian, dan kebudayaan Spanyol Islam. Setiap dinasti (raja)
di Malaga, Toledo, Sevilla, Granada, dan Iain-lain berusaha menyaingi Cordova.
Kalau sebelumnya Cordova merupakan satu-satunya pusat ilmu dan peradaban Islam
di Spanyol, Muluk Al-Thawa’if berhasil mendirikan pusat-pusat peradaban baru
yang di antaranya justru lebih maju.[44]
D. Penyebab Kemunduran dan Kehancuran
1. Konflik Islam dengan Kristen
Para penguasa Muslim tidak melakukan Islamisasi secara sempurna. Mereka
sudah merasa puas dengan hanya menagih upeti dari kerajaan-kerajaan Kristen
taklukannya dan membiarkan mereka mempertahankan hukum dan adat mereka,
termasuk posisi hirarki tradisional, asal tidak ada
perlawanan bersenjata.38 Namun demikian, kehadiran Arab Islam telah
memperkuat rasa kebangsaan orang-orang Spanyol Kristen. Hal itu menyebabkan
kehidupan negara Islam di Spanyol tidak pernah berhenti dari pertentangan
antara Islam dan Kristen. Pada abad ke-11 M umat Kristen memperoleh kemajuan
pesat, sementara umat Islam sedang mengalami kemunduran.[45]
2. Tidak Adanya Ideologi Pemersatu
Kalau di tempat-tempat lain, para mukalaf diperlakukan sebagai orang Islam
yang sederajat, di Spanyol, sebagaimana politik yang dijalankan Bani Umayyah di
Damaskus, orang-orang Arab tidak pernah menerima orang-orang pribumi.
Setidak-tidaknya sampai abad ke-10 M, mereka masih memberi istilah ‘ibad dan
muwalladun kepada para mukalaf itu, suatu ungkapan yang dinilai merendahkan.
Akibatnya, kelompok-kelompok etnis non-Arab yang ada sering menggerogoti dan
merusak perdamaian. Hal itu mendatangkan dampak besar terhadap sejarah
sosio-ekonomi negeri tersebut. Hal ini menunjukkan tidak adanya ideologi yang
dapat memberi makna persatuan, di samping kurangnya figur yang dapat menjadi
personifikasi ideologi itu.[46]
3. Kesulitan Ekonomi
Di paruh kedua masa Islam di Spanyol, para penguasa membangun kota dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dengan sangat “serius”, sehingga lalai membina
perekonomian.[47] Akibatnya timbul kesulitan ekonomi yang amat memberatkan
dan mempengaruhi kondisi politik dan militer.
4. Tidak Jelasnya Sistem Peralihan Kekuasaan
Hal ini menyebabkan perebutan kekuasaan di antara ahli waris. Bahkan,
karena inilah kekuasaan Bani Umayyah runtuh dan Muluk Al-Thawaif muncul.
Granada yang merupakan pusat kekuasaan Islam terakhir di Spanyol jatuh ke
tangan Ferdinand dan Isabella, di antaranya juga disebabkan permasalahan
ini.[48]
5. Keterpencilan
Spanyol Islam bagaikan terpencil dari dunia Islam yang lain. la selalu
berjuang sendirian, tanpa mendapat bantuan kecuali dan Afrika Utara. Dengan
demikian, tidak ada kekuatan alternatif yang mampu membendung kebangkitan
Kristen di sana.[49]
D. Pengaruh Peradaban Islam Di Eropa
Kemajuan Eropa yang terus berkembang hingga saat ini banyak berhutang budi
kepada khazanah ilmu pengetahuan Islam yang berkembang di periode klasik.
Memang banyak saluran bagaimana peradaban Islam mempengaruhi Eropa, seperti
Sicilia dan Perang Salib, tetapi saluran yang terpenting adalah Spanyol Islam.
Spanyol merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa menyerap peradaban
Islam, baik dalam bentuk hubungan politik, sosial, maupun perekonomian, dan
peradaban antar negara. Orang-orang Eropa menyaksikan kenyataan bahwa Spanyol
berada di bawah kekuasaan Islam jauh meninggalkan negara-negara tetangganya
Eropa, terutama dalam bidang pemikiran dan sains di samping bangunan
fisik.[50] Yang terpenting di antaranya adalah pemikiran Ibn Rusyd
(1120-1198 M). la melepaskan belenggu taklid dan menganjurkan kebebasan
berpikir. la mengulas pemikiran Aristoteles dengan cara yang memikat minat
semua orang yang berpikiran bebas. la mengedepankan sunnatullah menurut
pengertian Islam terhadap pantheisme dan anthropomorphisme Kristen. Demikian
besar pengaruhnya di Eropa, hingga di Eropa timbul gerakan Averroeisme (Ibn
Rusydisme) yang menuntut kebebasan berpikir. Pihak gereja menolak pemikiran
rasional yang dibawa gerakan Averroeisme ini.
Berawal dari gerakan Averroeisme inilah di Eropa kemudian lahir reformasi
pada abad ke-16 M dan rasionalisme pada abad ke-17 M.[51] 41 Buku-buku Ibn
Rusyd dicetak di Vinesia tahun 1481, 1482, 1483, 1489, dan 1500 M. Bahkan,
edisi lengkapnya terbit pada tahun 1553 dan 1557 M. Karya-karyanya juga
diterbitkan pada abad ke-16 M di Napoli, Bologna, Lyonms, dan Strasbourg, dan
di awal abad ke-17 M di Jenewa.
Pengaruh peradaban Islam, termasuk di dalamnya pemikiran Ibn Rusyd, ke
Eropa berawal dari banyaknya pemuda-pemuda Kristen Eropa yang belajar di
universitas-universitas Islam di Spanyol, seperti universitas Cordova, Seville,
Malaga, Granada, dan Salamanca. Selama belajar di Spanyol, mereka aktif menerjemahkan
buku-buku karya ilmuwan-ilmuwan Muslim. Pusat penerjemahan itu adalah Toledo.
Setelah pulang ke negerinya, mereka mendirikan sekolah dan universitas yang
sama. Universitas pertama eropa adalah Universitas Paris yang didirikan pada
tahun 1231 M tiga puluh tahun setelah wafatnya Ibn Rusyd. Di akhir zaman
Pertengahan Eropa, baru berdiri 18 buah universitas. Di dalam
universitas-universitas itu, ilmu yang mereka peroleh dari
universitas-universitas Islam diajarkan, seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti,
dan filsafat. Pemikiran filsafat yang paling banyak dipelajari adalah pemikiran
Al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd.[52]
Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa yang sudah berlangsung sejak
abad ke-12 M itu menimbulkan gerakan kebangkitan kembali (renaissance)
pusaka Yunani di Eropa pada abad ke-14 M. Berkembangnya pemikiran Yunani di
Eropa kali ini adalah melalui terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan
kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Latin.[53]
Walaupun Islam akhirnya terusir dari negeri Spanyol dengan cara yang sangat
kejam, tetapi ia telah membidani gerakan-gerakan penting di Eropa.
Gerakan-gerakan itu adalah kebangkitan kembali kebudayaan Yunani klasik (renaissance)
pada abad ke-14 M yang bermula di Italia, gerakan reformasi pada abad ke-16 M,
rasionalisme pada abad ke-17 M, dan pencerahan (aufklarung) pada abad
ke-18 M.[54]
...
Eksistensi perkembangan ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh peradaban
Spanyol Islam di segala bidang, telah menjadikannya sebagai sebuah negara
adikuasa di zamannya. Kehadirannya telah banyak mewarnai perkembangan ilmu
pengetahuan dan peradaban manusia.
Dengan semangat science for science mereka melakukan
serangkaian upaya pengembangan khazanah keilmuan yang telah di kemukakan oleh
Pemikir Yunani kuno dengan tanpa melepaskan pada frame religius islami.
Semangat inilah yang mereka lakukan dalam melakukan itjihad keilmuan.
Dari akumulasi dan hubungan yang harmonis inilah kemudian melahirkan ilmu
pengetahuan islami yang sangat bermanfaat bagi perkembangan kebudayaan manusia
selanjutnya. Di saat perkembangan keilmuwan mencapai zaman keemasan inilah pada
waktu yang bersamaan dunia Eropa berada dalam keadaan yang memprihatinkan.
Mereka terkekang oleh dogma gerejani yang absolut yang mengharamkan umatnya untuk
mengembangkan daya nalarnya.
Namun demikian, perputaran jarum sejarah tidak selamanya menunjukkan
arahnya ke dunia Islam. Selang beberapa waktu kemudian dunia Islam mengalami
disintegrasi dan stagnasi roh ilmiah intelektual, terutama setelah serangan
Al-Ghazali yang mendeskriditkan para filsuf muslim dalam melakukan itjihad
akliah mereka. Kondisi ini menjadikan umat menjadi antipati terhadap dinamika
intelektual filosofis. Sementara itu banyaklah para filsuf muslim yang harus “keluar”
dari negerinya yang sudah tak “bersahabat” lagi dengan ide-idenya ke
tempat yang lebih aman, yaitu Benua Eropa. Di sana ide-ide mereka disambut
dengan antusias, apalagi setelah para pelajar Eropa belajar di dunia Islam
sebelumnya. Mereka tahu akan begitu besarnya manfaat ilmu yang ada di dunia Islam.
Keadaan inilah yang akhirnya khazanah ilmu pengetahuan harus berpindah dari
dunia Islam ke dunia non-Islam. Babak inilah yang menandai kemunduran dunia
Islam, dan awal zaman keemasan dunia Eropa. Kemunduran dinamika intelektual
muslim disebabkan tidak teraplikasikannya nilai-nilai ijtihad yang distimuli
al-Qur’an di tengah-tengah kehidupan umat Islam. Untuk itu fenomena ini
hendaknya memberikan nuansa sekaligus pemicu agar umat kembali kepada semangat
intelektual Quranik, jika ingin mengembalikan zaman keemasan pendidikan Islam
tempo dahulu, guna mengembalikan zaman keemasan pendidikan dan membangun
kebudayaan dunia Islam modern secara adaptik dan komprehensif.
//www.facebook.com/notes/pejuang-islam-sejati/sejarah-peradaban-islam-di-eropa-711m-1492m/10152074297305843